Sabtu, 21 Januari 2012

Budaya.
Banyaknya orang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasrat nya akan keindahan nya. Dengan singkat; kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti sempit itu konsep itu memang terlampau sempit. Sebaliknya banyak orang terutama para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah peroses belajar.
Konsep itu adalah amat itu perluan itu luas karena meliputi hampir seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. hal-halyang tidsak termasuk kebudayaanhanyalah beberapa reflex yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenar nya juga merupakan perbuatan seperti makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan peralatatan, dengan tata-cara  makan. Karena demikian luas nya, maka guna keperluan analisa  konsep kebudaya itu perlu di pecah lagi kedalam unsure-unsur nya. Unsur-unsur tersebar yang terjadi karena pecahan tahap pertama di sebut “ unsur-unsur kebudayaan  yang universal”,  dan merupakan unsure-unsur yang pasti bisa di temukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat kekotaan yang besar dan komplex. Unsure-unsur  universal itu. Yamg sekalian merupakan dari isi semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah :
1.      System religi dan upacara keagamaan,
2.      System dan organisasi kemasyarakataan,
3.      Sistem pengetahuan,
4.      Bahasa
5.      Kesenian
6.      Sistem mata pencaharian hidup,
7.      System teknologi adan peralatan.
Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat  di pecah lagi kedalam sub-unsur-unsur nya. Demikian unsure ketujuh unsure kebudayaan  universal tadi memangt mencakup  seluruh kebudayaan mahluk  manusia di manapun juga di dunia, menunjukan ruang lingkungan  dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Susun  tata-urut dari unsur-unsur kebudayaan  universal seperti tercantum di atas di buat dengan sengaja untuk sekalian mengambarkan unsur-unsur mana yang paling sukar berubah atau kena pengaruh kebudayaan lain, lain  dan mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsure-unsur serupa dari kebudayaan-kebudayaan lain. Dalam tata turut itu akan segera terlihat bahwa  unsure-unsur yang berada di bagian atas dari deretan, merupakan unsure-unsur yang lebih sukar berolah daripada unsure-unsur yang tersebut kemudian.
System religi dan sebagian besar dari sub- unsure-unsurnya, biasanya memang mengalami perubahan yang lebih lambat bila dibandingkan dengan misalnya suatu teknologi atau suatu peralatan bercocok tanam tertentu. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan definisi budaya, budaya ialah total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada kepada nalurinya, yang dipengaruhi karena pendidikannya. Jadi disini sangat jelas akan pentingnya pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat kampoug Solear, agar mampu untuk merubah kebuyaan yang lebih baik.  
Dalam pembahasan ini penyusun mencoba untuk mencari definisi budaya berdasarkan sumber-sumber tertulis yang di padukan dengan keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Secara teoritis wujud budaya itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah;
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideel dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba ,atau di foto. Lokasinya ada di kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau masyarakat tadi menyatakan mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideel sering berada dalamtulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideel sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.
Kebudayaan ideel ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu maksudnya menunjukan bahwa kebudayaan ideel itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan member arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling kongkret dan terbatas.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut system social, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. System social ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari kehari, dari tahun ke tahun, selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kekuatan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistemsosial itu bersipat kongkrit, terjadi di sekeliling kiata sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ke tiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banayak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya makin kongkrit, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Ada benda-benda yang amat besar seperti: suatu pabrik baja; ada benda-benda yang amat kompleks dan sophisticated seperti suatu computer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak seperti suatu perahu tangki minyak; ada benda-benda yang besar dan indah seperti suatu candi yang indah atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.
Sudah tentu dalam analisa sistematis, kebudayaan fisik yang dimiliki atau dihasilkan oleh suatu bangsa itu, harus lebih dulu digolong-golongkan menurut tingkatanya masing-masing. Sebagai pangkal penggolongan dapat kita pakai unsur-unsur kebudayaan yang terbesar, ialah unsure-unsur universal. Kemudian tiap unsure besar tadi kita pecah kebebrapa sub-unsur-unsurnya. Sebagai contoh: aspek fisik dari suatu religi sebagai unsure kebudayaan yang universal, adalah gedung (atau bangunan) tempat pemujaan. Unsure-unsur besar itu dapat kita pecah kedalam beberapa sub- unsure, dan diantaranya ada misalnya jubah pendeta pemuka upacara. Sub-sub unsure ini kalau dipecah lagi membawa kita kepada bagian-bagian dari jubah tadi, dan suatu sub-sub-sub unsure yang kecil dari jubah adalah kancing jubah dari sang pendeta pemuka upacara.
Dalam pemakaian sehari-hari perkataan kebudayaan berarti kualitas yang wajar yang dapat diperoleh dengan mengunjungi cukup banyak sandiwara dan konser tarian serta menikmati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi sorang ahli antropologi, mempunyai definisi yang lain. Dalam ringkasan berikut ini Ralp Linton menjelaskan bagai mana definisi kebudayaan dalam kehidupan sehasi-hari berbeda dari definisi seorang ahli antropilogi.
“kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup masyarakat itu kalau kebudayaan di terapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya satrawan terkenal. Untuk seorang ahli ilmu social, kegiatan seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu social tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap manusia mempunyai kebudayaan, bagai manau pun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah mahluk budaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan”.
Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

ikatan pemuda cibungur lebak









 Penyebab Terjadinya Gerakan Reformasi
Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswaa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan Pertanyaan berikutnya, bagaimana mahasiswa dapat melakukan sebuah gerakan reformasi dalam usaha perubahan sosial? Apakah dengan serta-merta gerakan mahasiswa terbangun?
Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, kami akan melihat perilaku kolektif mahasiswa pada masa pra hingga bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Dalam sosiologi, perilaku kolektif adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu[1].
Sejak tahun pasca tahun 1966- dimana gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rejim Orde Lama-, dapat dikatakan mengalami masa stagnansi dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipandang telah kehilangan kepekaaan sosial yang terjadi pada saat itu. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang begitu represif sehingga kondisi perpolitikan nasional menjadi alat yang efektif untuk mematikan aspirasi dan gerakan mahasiswa. Pengekangan tersebut telah membuat mahasiswa-kebanyakan-menjadi kehilangan daya kritisnya terhadap kondisi sosial yang berkembang. Menyadari bahwa perguruan tinggi dan lembaga pemerintah tidak dapat diharapkan, sebagian mahasiswa coba menciptakan ruang-ruang berkembangnya sendiri. Mereka kemudian memilih untuk melakukan aktifitas mereka diluar kampus. Selain membentuk kelompok-kelompok diskusi, mahasiswa juga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani berbagai isu-isu sosial. Aksi protes mahasiswa masih berlanjut akan tetapi masih sangat sporadis dan dampaknya belum meluas, baik itu dikalangan mahasiswa maupun masyarakat umumnya dan semakin lemah sampai akhirnya menghilang akhir 1970-an.
Gairah pergerakan di kelompok mahasiwa kemudian mulai kembali pada tahun 90-an saat akumulasi berbagai permasalahan sosial makin tajam. Mereka lebih cenderung mengangkat masalah-masalah yang aktual pada saat itu, misalnya masalah kelaparan atau bencana di satu daerah dan permasalahan keseharian yang dihadapi oleh masyarakat. Akan tetapi, pola yang digunakan tidak berubah; masih sporadis dan dilakukan dalam kampus. Pada awalnya tidak semuanya mahasiswa tersebut tergerak untuk menanggapi masalah sosial yang muncul. Dalam melihat fenomena ini, Ricardi melakukan pembagian lima kelompok mahasiwa dalam merespon kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat. Pertama adalah kelompok idealis konfrontatif, dimana mahasiwa tersebut aktif dalam perjuangannya menentang pemerintah melalui aksi demonstrasi. Kedua, kelompok idealis realistis adalah mahasiwa yang memilih koperatif dalam perjuangannya menentang pemerintah. Ketiga, kelompok opportunis adalah mahasiswa yang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa. Keempat adalah kelompok profesional, yang lebih berorientasi pada belajar atau kuliah. Terakhir adalah kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya hdup yang glamour.
Lalu bagaimana kelompok-kelompok mahasiswa tersebut dapat bergerak dalam menggulirkan sebuah perubahan sosial di Indonesia? Menurut Ricardi, pada masa itu muncul conscience collective, kesadaran bersama dimana mahasiswa merupakan satu kelompok yang harus bersatu padu. Dalam kondisi perilaku kolektif, terdapat kesadaran kolektif dimana sentimen dan ide-ide yang tadinya dimiliki oleh sekelompok mahasiswa yang menyebar dengan begitu cepat sehingga menjadi milik mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Kekecewaan dan ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah disambut oleh masyarakat yang menjadi korban dari sistem yang ada. Aksi dari mahasiswa kemudian direspon oleh masyarakat melalui secara sukarela memberikan bantuan kepada para mahasiswa yang sedang mengadakan demonstrasi.
Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control). Dalam konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, keenam syarat itu terpenuhi; pertama kondisi sosial masyarakat saat itu yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan , keempat adanya faktor pemicu dengan gugurnya mahasiswa Universitas Trisakti yang kemudian berlanjut pada peristiwa lainnya , kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998-tepatnya bulan Mei-cenderung pada perilaku kerumunan aksi dimana aksi demonstrasi mereka lakukan secara terus menerus dengan mengandalkan mobilisasi massa demi tujuan bersama. Menurut Blumer, perilaku kerumunan yang bertindak dimana mereka mempunyai perhatian dan kegiatan yang ditujukan pada beberapa target atau objektif. Tuntutan gerakan mahasiswa sendiri pada pasca kejatuhan rejim Orde Baru cenderung pada perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan. Melihat pemaparan diatas serta landasan teori yang kami gunakan diatas, jelas bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah satu proses reformasi dalam perubahan sosial. Reformasi sendiri menurut Kornblum, gerakan yang hanya bertujuan untuk mengubah sebagian institusi dan nilai. Lebih jauh lagi, gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan semacam ini biasanya muncul di negara-negara yang demokratis. Pada bab berikutnya, saya akan mengemukakan pengaruh dan pandangan dari luar negeri terhadap perubahan sosial di Indonesia
Pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia pada tahun 1998 terjadi melalui gebrakan dahsyat yang di kenal dengan gerakan reformasi. Gebrakan ini merupakan ledakan kekuatan mahasiswa dan rakyat, sejarah mencatat bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) republik Indonesia, telah mengambil keputusan atas nama rakyat. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di kawasan asia yang mengalami tiga era besar, yaitu ;
1.      Era revolusi kemerdekaan,
2.      Era pembangunan nasional, dan
3.      Era reformasi, yang sedang diukir oleh generasi ketiga sekarang
Era revolusi kemerdekaan, memberikan hasil perjuangan berupa tegaknya negara dan bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, sebagai modal utama mengadakan nation and character building. Era pembangunan nasional, disamping mencatat prestasi yang meritorius, juga harus memikul segala noda dan dosa sejarah dalam proses pembangunan. Gerkan yang mencoba menemukan platfrom yang pas, gerak dan gulirnya banyak diwarnai oleh kemaruk (euphoria) orang yang memanfaatkan kebebasan dan manifestasinya merupakan hasil dari era reformasi. Posisi mahasiswa merupakan sebagai kekuatan yang dianggap mampu untuk menyampaikan keinginan rakyat terhadap pejabat-pejabat pemerintah, aksi-aksi turun kejalan merupakan perjuangan yang takan terhenti oleh barisan kendaraan lapis baja untuk satu tujuan reformasi. Aksi-aksi gerakan mahasiswa dan rakyat Indonesia meletus dan menimbulkan guncangan seperti terjadi gempa dahsyat. [2]Saya melihat bahwa yang menjadi sasaran pokoknya adalah, keinginan utnuk merombak dan tekad untuk menata kembali kekuasaan orde masa lalu (agient regime), yang bertumpu pada suatu tatanan, suatu orde, suatu sistem, yang mempunyai :
1.      Power Basis, yang terutama didukung oleh Angkatan Bersenjata (ABRI) atau TNI dan kaum birokrat;
2.      Power Structure, yang terkristalissasi pada golkar, yang boleh dikatakan sebagai single-track railroad pembangunan nasional, dengan backbone berupa kekuatan ABRI dan birokrasi itu tadi, dan didudukanya Presiden pada apex kekuasaan;
3.      Power Play, dengan perangai kekuasaan yang kemudian berkembang menjadi otokratis, yang mudah tergelincir menjadi represif dan pada gilirannya menyuburkan KKN (korupsi, kulusi dan nepotisme).
Gerakan mahasiswa 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa[3].
Kelahiran gerakan mahasiswa 1998 merupakan kepanjangan dari momentum situasi politik yang bergolak sejak dari tahun 1990, kemudian berseklarasi hingga puncaknya tahun 1998. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia merupakan salah satu pemicu terjadinya gerakan mahasiswa reformasi, krisis ini berawal dari tahun 1997 dimana nilai rupiah terhadap dolar AS melemah sehingga memicu krisis ekonomi yang bersekala nasional. Pada pertengahan 1997, situasi ekonomi Indonesia mulai goyah tertimpa badai krisis moneter yang menghebat. Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir, harga gas, minyak, dan komoditas ekspor lainnya semakin jatuh[4]. Sebelum terjadinya krisis multidimensional yang memuncak sejak pertengahan tahun 1997, keadaan perekonomian Indonesia relatif cukup baik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semula Rp. 2.400,- menjadi sekitar Rp. 15.000,-. Perubahan kondisi makroekonomi akibat krisis ini sangat drastis terlihat pada ketersediaan cdangan devisa yang terus merosot dari 20,3 miliar dolar AS pada Juni 1997 menjadi sekitar 14 miliyar dolar AS pada pertengahan 1998. Selain terjadi krisis ekonomi pemerintah juga direpotkan dan di kejutkan dengan wabah demam berdarah yang menyebar, dan dikabarkan 12 provinsi diserang demam berdarah. Ada 16.500 orang yang diserang dengan korban meninggal mendekati anggka 500 jiwa, terbanyak terjadi di Jakarta terutama bulan April 1998[5]. Bulan-bulan malapetaka beruntun datang, pemerintah tanpa tidak berdaya untuk berbuat sesuatu yang menentramkan masyrakat. Keadaan ini yang menyungut api pergerakan mahasiswa untuk menriakan reformasi di Indonesia.
Gerakan reformasi 1998 di Indonesia tidak terlepas dari kepeloporan mahasiswa dan kaum intelektual terdidik. Gerakan mereka diawali dari gerakan-gerakan keprihatinan yang menempatkannya sebagai gerakan moral di kampus-kampus. Tradisi mahasiswa berunjuk rasa dengan mimbar bebas di kampus-kampus, ternyata disambut secara positif oleh segenap elemen sivitas akademika di dalamnya. Suara mahasiswa semakin nyaring hingga berhasil mentranformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement. Gerakan mahasiswa berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat secara luas yang mendambakan terciptanya reformasi di Indonesia. Mahasiswa merupakan kelompok elit terdidik, yang tingkat partisipasinya dibandingkan dengan seluruh komposisi penduduk mencapai 10,6 % persen pada trahun 1995 (data BPS 1996). Dari sini tampak, walaupun secara kuantitatif mereka tergolong kecil, namun ternyata secara kualitatif mampu menjadi lokomotif bagi kesadaran semua pihak untuk melancarkan tuntutan reformasi.dalam fase-fase sejarahnya, mahasiswa Indonesia memang diakui memiliki kepeloporan bagi gerak maju sejarah, yakni perubahan bangsa.


[1]  Isu-isu gerakan mahasiswa, WWW.isu-isupergerakanmahasiswa.com Catatan: Tulisan ini dibuat oleh penulis sebagai makalah tugas kuliah di STF Driyarkara

1 Tjuk Atmadi, Reformasi Kita. (Jakarta, Balai Pustaka. 2009) hal 31,
[4] Dodi rudianto, gerakan mahasiswa dalam prespektif perubahan politik nasional
[5] S. Sinansari Ecip, Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto